23 April 2008

Hakikat Penyuluhan (komunikasi)

http://tumoutou.net/702_04212/nurul_huda.htm

Hakikat Penyuluhan

Istilah penyuluhan digunakan dalam bahasa yang berbeda di beberapa negara. Menurut Van den Ban (1999), dalam bahasa Belanda digunakan istilah Voorlichting yang berarti penerangan. Malaysia yang dipengaruhi oleh bahasa Inggris menggunakan kata Perkembangan. Bahasa Inggris dan Jerman masing-masing menggunakan istilah pemberian saran atau Baratung yang berarti memberikan petunjuk tetapi pilihan tetap ditentukan oleh yang bersangkutan. Jerman menggunakan istilah Aufklarung yang berarti pencerahan. Dalam bahasa Austria digunakan istilah Forderung yang berarti menggiring seseorang kearah yang diinginkan sedangkan bahasa Perancis menggunakan istilah Vulgarization yang menekankan pentingnya penyederhanaan pesan bagi orang awam. Spanyol menggunakan istilah Capacitacion yang dapat diartikan sebagai pelatihan.
Dilain pihak, menurut Slamet (1994), istilah penyuluhan pada awal kegiatannya disebut dan dikenal sebagai Agricultural Extension. Dengan pengembangan penggunaannya di bidang-bidang lain, maka sebutannya berubah menjadi Extension Education dan Develoment Communication. Meskipun antara ketiga istilah tersebut terdapat perbedaan, namun pada dasarnya mengacu pada disiplin ilmu yang sama.

Dalam bahasa Indonesia, istilah penyuluhan berasal dari kata dasar "suluh" yang berarti pemberi terang di tengah kegelapan. Dengan demikian, penyuluhan dapat diartikan sebagai proses untuk memberikan penerangan kepada masyarakat tentang segala sesuatu yang "belum diketahui (dengan jelas)". Namun, penerangan yang dilakukan tidaklah sekedar "memberi penerangan", tetapi penerangan yang dilakukan harus terus menerus dilakukan sampai segala sesuatu yang diterangkan benar-benar dipahami, dihayati, dan dilaksanakan oleh masyarakat (Mardikanto, 1993).

Sebagai suatu kegiatan, penyuluhan pembangunan sudah lama dilaksanakan dan dirasakan kebutuhannya untuk menunjang pembangunan di banyak negara.
Menurut Mardikanto (1992), kehadiran penyuluhan pertanian di Indonesia sebagai bidang kegiatan, sebenarnya sudah berlangsung hampir dua abad yang lalu, yakni sejak didirikannya Kebun Raya Bogor oleh Reinwardt pada tahun 1817. Menurut catatan sejarah, di Scotlandia, pengembangan ilmu penyuluhan pertanian sudah dirintis sejak tahun 1723. Akan tetapi kehadirannya sebagai cabang keilmuan sebenarnya belum lama. Sejak saat itu, konsep tentang penyuluhan dan penyuluhan pertanian terus mengalami perkembangan.

Sejak pemerintahan orde baru, kegiatan penyuluhan yang semula hanya dikenal di kalangan orang-orang pertanian, semakin dikembangkan untuk beragam sektor kegiatan, sehingga kemudian muncullah penyuluhan agama, penyuluhan koperasi, penyuluhan transmigrasi, penyuluhan keluarga berencana, penyuluhan industri kecil, penyuluhan hukum, penyuluhan perpajakan, dll. Menurut Slamet (1994), keragaman sektor penyuluhan tersebut mendasari munculnya penyuluhan pembangunan yang merupakan pengembangan dari penyuluhan pertanian.

Menurut Sapoetro (Mardikanto, 1992) kunci pentingnya penyuluhan di dalam proses pembangunan didasari oleh kenyataan bahwa pelaksana utama pembangunan adalah masyarakat kecil yang umumnya termasuk golongan ekonomi lemah, baik lemah dalam permodalan, pengetahuan, dan keterampilannya, maupun lemah dalam hal peralatan dan teknologi yang diterapkan. Disamping itu, mereka juga seringkali lemah dalam hal semangatnya untuk maju dalam mencapai kehidupan yang lebih baik.

Kenyataan juga menunjukkan bahwa praktek penyuluhan yang bertujuan untuk menawarkan atau "memasarkan" inovasi sampai dengan inovasi tersebut diadopsi oleh masyarakat, bukanlah pekerjaan yang gampang. Di dalam praktek, kegiatan penyuluhan selalu menuntut kerja keras, kesabaran, memakan banyak waktu, dan sangat melelahkan. Sehingga pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan kian menjadi kebutuhan banyak pihak.

Pentingnya penyuluhan pembangunan juga diawali oleh kesadaran akan adanya kebutuhan manusia untuk mengembangkan dirinya agar lebih mampu meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Karena itu, menurut Mardikanto (1992) kegiatan penyuluhan pembangunan terus menerus dikembangkan dalam rangka menggerakkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan agar mereka memiliki kemampuan menolong dirinya sendiri untuk mencapai tujuan perbaikan mutu hidup dan kesejahteraan yang dicita-citakan.

Pada masa lalu, penyuluhan dipandang sebagai alih teknologi dari peneliti ke petani. Kini peranan penyuluhan lebih dipandang sebagai proses menbantu petani untuk mengambil keputusan sendiri dengan cara menambah pilihan bagi mereka dan menolong mereka mengembangkan wawasan mengenai konsekuensi masing-masing pilihan itu. Dengan demikian, tujuan terpenting program penyuluhan adalah untuk mengubah perilaku petani (Van den Ban, 1999).

Menurut Slamet dalam Mardikanto (1993), tujuan yang sebenarnya dari penyuluhan adalah terjadinya perubahan perilaku sasaran nya. Hal ini merupakan perwujudan dari : pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung dengan indera manusia. Dengan demikian, penyuluhan dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) di kalangan masyarakat agar mereka tahu, mau, mampu melaksanakan perubahan-perubahan demi tercapainya peningkatan produksi, pendapatan/keuntungan dan perbaikan kesejahteraan keluarga/masyarakat yang ingin dicapai melalui pembangunan pertanian. Dengan kata lain, Slamet (1994) mendefinisikan penyuluhan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana pola perilaku manusia terbentuk, bagaimana perilaku manusia dapat berubah atau diubah sehingga mau meninggalkan kebiasaan yang lama dan menggantinya dengan perilaku baru yang berakibat pada kualitas kehidupan yang lebih baik.

Hal yang sama juga didefinisikan oleh Wiriaatmadja (1973) yang menyatakan bahwa penyuluhan merupakan sistim pendidikan di luar sekolah, dimana mereka belajar sambil berbuat untuk menjadi tahu, mau, dan mampu/bisa menyelesaikan sendiri masalah yang dihadapi secara baik, menguntungkan dan memuaskan. Jadi penyuluhan adalah suatu bentuk pendidikan yang cara, bahan, dan sarananya disesuaikan dengan keadaan, kebutuhan, dan kepentingan sararan. Karena sifatnya yang demikian maka penyuluhan biasa juga disebut pendidikan non formal.

Melalui penyuluhan juga harus diupayakan tidak terciptanya "ketergantungan" masyarakat kepada penyuluhnya. Penyuluh hanya sekadar sebagai fasilitator dan dinamisator untuk memperlancar proses pembangunan yang direncanakan. Dengan kata lain, melalui penyuluhan, ingin dicapai suatu masyarakat yang memiliki pengetahuan luas tentang berbagai ilmu dan teknologi, memiliki sikap yang progresif untuk melakukan perubahan dan inovatif terhadap sesuatu (informasi) yang baru, serta terampil dan mampu berswadaya untuk mewujudkan keinginan dan harapan-harapannya demi tercapainya perbaikan kesejahteraan keluarga/masyarakatnya.

Pernyataan tentang tujuan penyuluhan tersebut sesuai dengan falsafah penyuluhan yang dianut yaitu harus berpijak pada pentingnya pengembangan individu (Kelsey dan Herane dalam Mardikanto, 1993). Masyarakat harus dilihat sebagai manusia biasa yang memiliki potensi untuk mengembangkan kemampuannya dan memiliki keinginan dan harapan untuk terlepas dari keadaan yang tidak mereka kehendaki. Karena itu, pelaksanaan penyuluhan harus mampu tidak saja mengembangkan potensi masyarakat tetapi juga harus mau memberikan peluang kepada kekuatannya sendiri untuk mengembangkan potensinya supaya terlepas dari kemiskinan dan kebodohan.

Karena itu, Kelsey dan Herane (Mardikanto, 1993) mengemukakan bahwa falsafah penyuluhan adalah bekerja bersama masyarakat untuk membantunya agar mereka dapat meningkatkan harkatnya sebagai manusia. Dari pendapat tersebut, terkandung pengertian bahwa :
(1) Penyuluh harus bekerjasama dengan masyarakat, dan bukannya berkerja untuk masyarakat. Kehadiran penyuluh bukan sebagai penentu atau pemaksa, tetapi ia harus mampu menciptakan suasana dialogis dengan amsyarakat dan mampu menumbuhkan, menggerakkan, serta memelihara partisipasi masyarakat.
(2) Penyuluhan tidak menciptakan ketergantungan, tetapi harus mampu mendorong semakin terciptanya kreativitas dan kemandirian masyarakat agar semakin memiliki kemampuan untuk berswakarsa, swadaya, swadana, dan swakelola bagi terselenggaranya kegiatan-kegiatan guna tercapainya tujuan, harapan, dan keinginan-keinginan masyarakat sasarannya.
(3) Penyuluhan yang dilaksanakan harus selalu mengacu kepada terwujudnya kesejahteraan ekonomi masyarakat dan peningkatan harkatnya sebagai manusia.

Dari paparan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa penyuluhan adalah proses pendidikan yang bertujuan untuk mengubah kesadaran dan perilaku (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) manusia ke arah yang lebih baik sehingga mereka menjadi berdaya dan dapat mencapai kehidupan yang lebih baik dan sejahtera. Jadi, disinilah nilai penting penyuluhan sebagai suatu pengetahuan yang dapat dimanfaatkan untuk perbaikan kehidupan yang lebih sejahtera. Hal ini sesuai dengan hakekat ilmu yang berfungsi sebagai pengetahuan yang membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.

Menurut Wiriaatmaja (1973) dalam melaksanakan kegiatannya, penyuluhan menerapkan suatu cara atau metode tertentu yang harus dilakukan, yaitu :
(1) Pengenalan keadaan, gambaran atau situasi
Sebelum melaksanakan kegiatan penyuluhan, penyuluh harus terlebih dahulu melakukan hal-hal sebagai berikut :
 Mempersiapkan dirinya sendiri untuk jadi penghubung/komunikator atau penyuluh yang baik
 Mengenal daerah kerjanya termasuk perihal masyarakat (sasaran), kebudayaan, kekayaan alam, dan masalah-masalahnya dalam lingkup pertanian/pembangunan.

(2) Perencanaan (Planning)
Supaya tujuan penyuluhan dapat tercapai dengan baik, perlu disusun suatu rencana tentang jalannya kegiatan-kegiatan. Yang termasuk dalam rencana tersebut adalah yang dikenal dengan istilah 4 W dan 1 H, yaitu :
 Apa yang harus dilakukan (What)
 Di mana dilakukannya (Where)
 Kapan melakukannya (When)
 Siapa yang melakukan (Who)
 Bagaimana melakukannya (How)
Untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan penyuluhan, maka di dalam perencanaan tersebut, perlu disusun hal-hal sebagai berikut :
 Program, yaitu suatu pernyataan yang dikeluarkan untuk menimbulkan pengertian dan perhatian mengenai suatu kegiatan. Lebih jelasnya program berisi tentang apa yang harus dilakukan dan mengapa perlu dilakukan.
 Rencana Kerja, yaitu suatu acara kegiatan-kegiatan yang disusun sedemikian rupa sehingga memungkinkan pelaksanaan program secara efisien yang menyangkut tentang bagaimana, kapan, di mana, dan siapa.
 Kalender kerja, yaitu suatu rencana kerja yang disusun menurut urutan waktu kegiatan.
(3) Pelaksanaan
Yang dimaksud dengan pelaksanaan di sini adalah tindakan-tindakan nyata untuk melakukan apa-apa yang telah dicantumkan dalam rencana tadi, yaitu yang berkaitan dengan 4 W dan 1 H tersebut. Dalam pelaksanaan kegiatan penyuluhan tersebut, dapat dipilih cara atau metode komunikasi dan alat bantu yang digunakan dengan ketentuan:
 Sesuai dengan keadaan sasaran
 Cukup dalam kuantitas dan kualitas
 Tepat mengenai sasaran dan tepat pada waktunya
 Amanat harus mudah diterima dan dimengerti
 Murah biayanya.
Sedangkan metode komunikasi penyuluhan dapat dilakukan secara personal, kelompok, ataupun massa.
(4) Penilaian (evaluasi).
Penilaian adalah suatu proses feedback, dimana hasil yang telah diperoleh selama pelaksanaan diperbandingkan dengan rencana dan keadaan semula. Selanjutnya mulai lagi dengan pengenalan keadaan yang baru (hasil akhir dari kegiatan-kegiatan tadi). Hal-hal yang dinilai adalah :
 Apa yang terjadi pada pihak sasaran, yaitu apa ada perubahan dalam pengetahuan, keterampilan, dan sikapnya ?apakah mereka sudah menerapkan teknologi baru yang dianjurkan ? apakah ada perubahan dalam kedudukan sosial dan ekonomi mereka ?. Semuanya ini dibandingkan denga keadaan semula sebelum ada kegiatan penyuluhan.
 Bagaimana efektivitas metode dan alat bantu penyuluhan yang digunakan ?

Untuk lebih jelasnya urutan dari kegiatan-kegiatan penyuluhan tersebut adalah seperti gambar berikut :

Keadaan semula - perencanaan - pelaksanaan - penilaian - keadaan baru

Dari paparan tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa penyuluhan sebagai suatu pengetahuan mempunyai serangkaian metode ilmiah yang berisi langkah-langkah sistematis dan logis yang harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan. Dengan demikian, secara epistemologis hakekat penyuluhan sebagai suatu ilmu telah terpenuhi. Sesuai dengan pendapat Suriasumantri (1984c), metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu.

Kesimpulan

Ilmu pada hakekatnya merupakan kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan ilmu dengan pengetahuan umum lainnya. Ciri-ciri keilmuan ini didasarkan pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap tiga pertanyaan pokok yang berkaitan dengan hakekat ilmu yaitu ontologi, epistemologi, dan axiologi.

Dalam konteks penyuluhan pembangunan, keberadaannya sebagai suatu ilmu didasari kenyataan bahwa pelaksana utama pembangunan adalah masyarakat kecil yang umumnya termasuk golongan lemah, baik secara ekonomi, pengetahuan, keterampilan, maupun semangatnya untuk maju dalam memperbaiki hidupnya. Karena itu, ilmu penyuluhan pembangunan terus menerus dikembangkan dalam rangka menggerakkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan agar mereka berdaya dan memiliki kemampuan menolong dirinya sendiri untuk mencapai perbaikan kualitas hidup dan kesejahteraan yang dicita-citakan. Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam melaksanakan kegiatannya, penyuluhan menerapkan suatu cara atau metode tertentu yang terdiri dari beberapa langkah sistematis yaitu pengenalan keadaan atau situasi masyarakat setempat, perencanaan kegiatan, pelaksanaan, dan penilaian (evaluasi). Melalui langkah-langkah tersebut, diharapkan tujuan penyuluhan dapat tercapai dengan baik sesuai dengan yang diharapkan.

Dari paparan tersebut, dapat dikatakan bahwa hakekat penyuluhan pembangunan sebagai suatu ilmu telah terpenuhi sesuai dengan ciri-ciri keilmuan yaitu melalui suatu kajian atau peninjauan dari segi ontologi, epistemologi, dan axiologi.

Daftar Pustaka

Gie, T. Liang. 1984. Konsepsi tentang Ilmu. Yogyakarta. Penerbit Yayasan Studi Ilmu dan Teknologi.

Mardikanto, T. 1992. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta. Sebelas Maret University Press.

Pranarka, AMW. 1987. Epistomologi Dasar : suatu Pengantar. Jakarta. Penerbit Yayasan Proklamasi.

Suriasumantri, Jujun S. 1984a. Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu. Jakarta. Penerbit Yayasan obor Indonesia dan Leknas – LIPI.

Suriasumantri, Jujun S. 1984b. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik. Jakarta. Penerbit PT Gramedia.

Suriasumantri, Jujun S. 1984c. Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta. Penerbit Sinar Harapan

Slamet, Margono. 2001. Perspektif Ilmu Penyuluhan Pembangunan Menyongsong Era Tinggal Landas dalam. Penyuluhan Pembangunan di Indonesia : Menyongsong Abad 21. Jakarta. Penerbit PT Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara.

Van den Ban, AW dan H.S. Hawkins. Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta. Penerbit Kanisius.

Wiriaatmadja, S. 1973. Pokok-pokok Penyuluhan Pertanian. Jakarta. Penerbit PT Yasaguna.

Tidak ada komentar: